Menjadi seorang berkeyakinan sekuler di Indonesia: Efek secular beliefs terhadap significance loss yang dimediasi oleh kesepian
Main Article Content
Abstract
Perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia diyakini menyebabkan pudarnya peran agama di dunia. Meskipun begitu, pernyataan ini menuai berbagai perdebatan. Berbagai temuan menunjukkan bahwa penurunan peran agama tidak dapat digeneralisasikan pada semua konteks. Peran agama cenderung bertahan dan terus menguat pada negara yang rentan, meskipun terdapat pengecualian pada sebagian negara maju. Pada konteks Indonesia, agama berperan besar dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara religius menolak nilai-nilai sekularisme. Sebagian besar penelitian terdahulu berfokus membahas tentang tren perkembangan sekularisme di berbagai budaya. Penelitian ini berusaha untuk melampaui fokus penelitian terdahulu dengan mempertimbangkan konteks penelitian yaitu dampak menjadi seorang sekuler di negara religius. Lebih spesifiknya, peneliti akan menguji secular beliefs memprediksi significance loss yang dijelaskan oleh kesepian. Terdapat 554 partisipan (perempuan = 73,3%, laki-laki = 25,6%, dan lainnya = 1,1%) yang merupakan WNI berusia 18 tahun ke atas (M = 25,62 dan SD = 8,427). Hasil analisis mediasi menunjukkan hasil yang bervariasi pada tiga dimensi secular beliefs. Pada dimensi 1 (menolak penjelasan supernatural) dan dimensi 3 (dukungan terhadap rasionalisasi manusia) secara signifikan memprediksi significance loss yang dimediasi oleh kesepian. Artinya, semakin tinggi kecenderungan orang pada dua dimensi tersebut maka semakin merasa tidak berharga yang disebabkan oleh kesepian. Mengingat Indonesia merupakan negara yang mengutamakan agama dan mengakui adanya entitas transendental maka orang sekuler dianggap menyimpang dari norma umum masyarakat dan mengalami eksklusi sosial dan penilaian negatif – yang pada gilirannya menyebabkan significance loss. Sedangkan pada dimensi 2 yaitu pemisahan agama dan negara dinilai lazim karena Indonesia bukan negara teokrasi yang bersumber dari hukum agama.